BANTAHAN TERHADAP PENENTANG MANHAJ SALAF

BANTAHAN TERHADAP PENENTANG MANHAJ SALAF
BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN XII ) KEDUSTAAN TUDUHAN : AL-UTSAIMIN MENGKAFIRKAN ANNAWAWI DAN IBNU HAJAR

Kamis, 24-September-2009
Penulis: Abu Utsman Kharisman

Para penentang dakwah Ahlussunnah menuduh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin telah mengkafirkan al-Imam anNawawy dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Hal itu tertuang dalam tulisan pada salah satu blog yang berjudul: ‘Daurah Kitab Salafy: Syaikh Utsaimin Kafirkan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar’. InsyaAllah akan tersingkap nantinya bahwa tuduhan tersebut adalah dusta.
Mereka menukil pernyataan Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabul Maftuuh, kemudian menerjemahkan secara salah, serta memberi kesimpulan secara salah pula.
Saudaraku kaum muslimin….
Para penentang dakwah Ahlussunnah menuduh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin telah mengkafirkan al-Imam anNawawy dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Hal itu tertuang dalam tulisan pada salah satu blog yang berjudul: ‘Daurah Kitab Salafy: Syaikh Utsaimin Kafirkan Imam Nawawi dan Ibnu Hajar’. InsyaAllah akan tersingkap nantinya bahwa tuduhan tersebut adalah dusta.
Mereka menukil pernyataan Syaikh al-Utsaimin dalam Liqaa’ Baabul Maftuuh, kemudian menerjemahkan secara salah, serta memberi kesimpulan secara salah pula.

Kesalahan Menerjemahkan:

Blog penentang Ahlussunnah tersebut menerjemahkan tanya jawab itu sebagai berikut:

“Garisan kuning: Soalan penanya : “Sbgmana kita menjadikan al-Nawawi dan Ibn Hajar al-Asqalani kedua-duanya bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Berdasarkan kepada apa yang dimazhabkan (diputuskan) pendapat mereka di dalam isu-isu perbahasan Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah, kedua-dua mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah (kafir).”
Soalan susulan : “Secara mutlak, mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah?
Jawapan : “Kita tidak menjadikannya secara mutlak. Saya beritahu anda bahawa barangsiapa yang menyanggahi golongan al-Salaf dalam memahami Sifat Allah tidak diberi gelaran mutlak bahawa ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah. Bahkan ditaqyidkan…hingga bila dikatakan dia (seseorang itu) Ahli Sunnah Wal Jamaah (mungkin) dari sudut feqhiyyah contohnya. Adapun jika tareqat (metodologinya) itu bid’ah..ia bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah.”

Bantahan:
Kita simak terjemahan penentang dakwah Ahlussunnah tersebut, ia menerjemahkan penjelasan Syaikh alUtsaimin sebagai berikut:

“Berdasarkan kepada apa yang dimazhabkan (diputuskan) pendapat mereka di dalam isu-isu perbahasan Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah, kedua-dua mereka bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah (kafir).”

Mereka menyatakan bahwa ‘bukan dari Ahli Sunnah Wal Jamaah’ sama dengan ‘kafir’. Padahal, bukan Ahlussunnah Wal Jamaah tidak berarti ia secara otomatis adalah kafir, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan secara panjang lebar dari Syaikh al-Utsaimin sendiri pada kitab yang lain. Apalagi, jika ketergelinciran tersebut bersumber dari kesalahan ijtihad, sedangkan mereka berdua (Ibnu Hajar dan anNawawi) adalah Ulama’ yang kapasitas keilmuannya sudah menyampaikan mereka pada taraf mujtahid. Kalaupun suatu ucapan adalah kebid’ahan, tidak secara otomatis pengucapnya menjadi ahlul bid’ah. Sebagaimana ucapan kekufuran, tidak secara otomatis menjadikan pengucapnya menjadi orang kafir.

Kesalahan Menyimpulkan

Para penentang dakwah Ahlussunnah tersebut kemudian salah menyimpulkan. Kami nukilkan kesimpulan mereka terhadap tanya jawab tersebut:

Wahhabi ini yg bernama Muhammad Soleh Uthaimien menyatakan bahawa IMAM IBNU HAJAR AL-ASQOLANY ( PENGARANG FATHUL BARI SYARAH SOHIH BUKHARY) DAN JUGA IMAM NAWAWI ( PENGARANG SYARAH SOHIH MUSLIM) KATA WAHHABI : NAWAWI DAN IBNU HAJAR ADALAH PEMBUAT KESESATAN DAN NAWAWI SERTA IBNU HAJAR BERAQIDAH SESAT DAN MEREKA BERDUA ADALAH BUKAN AHLUSUNNAH ATAU KAFIR !!.

Bantahan:
Subhaanallah! Sungguh keji ucapan tersebut. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan bahwa Syaikh alUtsaimin telah menyatakan bahwa anNawawi dan Ibnu Hajar adalah pembuat kesesatan, beraqidah sesat, bukan ahlussunnah sehingga menjadi kafir?!
Kesimpulan yang salah itu bersumber dari pemahaman Dien yang kurang dan salah terhadap prinsip-prinsip Ahlussunnah. Termasuk, ketidaktahuan mereka terhadap Syaikh al-Utsaimin. Mereka juga membaca pernyataan Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin tersebut didasari dengan kebencian dan antipati terlebih dahulu. Hal itu menyebabkan mereka tidak bersikap adil, yang ada adalah penilaian terhadap hawa nafsu. Jika mereka memiliki keinginan yang ikhlas mengetahui makna penjelasan Syaikh al-Utsaimin yang ringkas dan global di suatu tempat, semestinya mereka bersemangat untuk mencari penjelasan beliau pada kitab beliau yang lain yang lebih rinci untuk mendapatkan gambaran secara utuh bagaimana sebenarnya sikap beliau terhadap Imam anNawawi dan Ibnu Hajar.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin sangat menghormati Imam anNawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Beliau senantiasa mendoakan rahmat Allah bagi mereka berdua.
Bahkan, terhadap Imam anNawawi, beliau menyatakan sebagai seorang Ulama’ yang ikhlas mengharapkan kebenaran, terbukti dengan diterimanya secara luas karya – karya beliau di kalangan kaum muslimin. Syaikh alUtsaimin juga mensyarah kitab al-‘Arbain anNawawiyah dan Riyaadus Sholihin karya anNawawi.
Keindahan kitab Riyaadus Sholihin menjadi semakin bersinar dengan syarah Syaikh al-Utsaimin yang membuat pembacanya mengarungi samudera ilmu dan hikmah yang luas. Bagi yang belum menikmati keindahan itu, silakan mencobanya. Bahkan, bagi yang telah membacanya pada suatu kesempatan, menjadi ketagihan untuk membacanya di waktu yang lain. Silakan bandingkan dengan syarh Riyaadus Sholihin yang lain, anda akan mendapati keistimewaan tersendiri yang menakjubkan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin adalah seorang faqih, memiliki ilmu Dien yang dalam dan luas, serta kokoh dalam prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal Jamaah. Tidaklah beliau menafsir suatu ayat atau mensyarah suatu hadits melainkan kita akan takjub dengan berlimpah faidah yang beliau singkap dan dipetik dalam nash-nash tersebut. Penguraian makna-makna kalimat pada suatu ayat dan penjelasan secara gamblang keterkaitannya dengan ayat-ayat yang lain, menunjukkan sisi kesamaan beliau dengan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqithy rahimahullah. Istinbath yang dalam terhadap suatu ayat, deskripsi yang runtut, sistematis, dan menyingkap sisi-sisi yang kurang jelas pada kosakata ayat, seakan mengingatkan pembacanya pada Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Memang, beliau berdua adalah mufassir yang merupakan guru Syaikh al-Utsaimin, yang memberikan pengaruh yang dalam terhadap beliau.
Jangan heran, jika anda menyimak suatu hadits yang disyarah Syaikh al-Utsaimin, anda tidak akan sekedar mendapat faidah ilmiah dalam satu bidang saja. Satu hadits, dalam syarh beliau, akan memancarkan kandungan-kandungan manfaat dalam bidang tauhid, akhlaq, fiqh, tafsir, maupun bidang-bidang yang lain. Kebanyakan kitab-kitab beliau yang telah dipublikasikan adalah transkrip rekaman ceramah beliau yang disusun dalam tulisan.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin sama sekali tidak menyatakan bahwa Imam anNawawi maupun Ibnu Hajar sebagai ahlul bid’ah, apalagi kafir. Bahkan Syaikh alUtsaimin berharap dan mendoakan agar ketergelinciran beliau berdua dalam hal takwil terhadap Asma’ Was Sifat tertutupi, dimaafkan, dan diampuni oleh Allah, karena mereka berdua telah banyak berbuat kebaikan dan pembelaan terhadap Sunnah Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam. Namun, Ahlussunnah tidaklah fanatik buta terhadap siapapun. Sebagaimana ahlussunnah tidak fanatik pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak pula mengklaim bahwa beliau tidak pernah salah dalam pendapatnya, demikian pula sikap Ahlussunnah terhadap para Ulama lain, di antaranya Imam anNawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany. Bagi ahlussunnah, kebenaran adalah hal utama yang lebih didahulukan. Kesalahan atau ketergelinciran harus dijelaskan dan diluruskan. Namun, jika itu terkait dengan Ulama’ disampaikan secara beradab tidak dalam bentuk celaan, diiringi mendoakan rahmat dan ampunan untuk beliau.
Untuk menunjukkan bagaimana sikap Syaikh al-Utsaimin sebenarnya terhadap al-Imam anNawawi dan Ibnu Hajar tersebut, kami akan nukilkan penjelasan beliau dalam 2 kitab yang lain, yaitu Syarh al-Arbain anNawawiyah dan Kitabul Ilmi. Para pembaca akan dapat meraup faidah-faidah ilmiyah lain, terutama manhaj Ahlussunnah terhadap masalah pembid’ahan, pemfasiqan, dan pengkafiran. Akan terlihat bahwa Ahlussunnah bukanlah takfiriyyin yang mudah mengkafirkan sesama muslim.
Dalam kitab Syarh al-‘Arbain anNawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin menjelaskan:

فنحن نؤمن بأن كل بدعة ضلالة، ثم هذه الضلالات تنقسم إلى: بدع مكفرة، وبدع مفسقة ، وبدع يعذر فيها صاحبها. ولكن الذي يعذر صاحبها فيها لا تخرج عن كونها ضلالة، ولكن يعذر الإنسان إذا صدرت منه هذه البدعة عن تأويل وحسن قصد.
وأضرب مثلاً بحافظين معتمدين موثوقين بين المسلمين وهما: النووي وابن حجر رحمهما الله تعالى .
فالنووي : لا نشك أن الرجل ناصح، وأن له قدم صدق في الإسلام، ويدل لذلك قبول مؤلفاته حتى إنك لا تجد مسجداً من مساجد المسلمين إلا ويقرأ فيه كتاب ( رياض الصالحين )
وهذا يدل على القبول، ولا شك أنه ناصح، ولكنه - رحمه الله - أخطأ في تأويل آيات الصفات حيث سلك فيها مسلك المؤولة، فهل نقول: إن الرجل مبتدع؟
نقول: قوله بدعة لكن هو غير مبتدع، لأنه في الحقيقة متأول، والمتأول إذا أخطأ مع اجتهاده فله أجر، فكيف نصفه بأنه مبتدع وننفر الناس منه، والقول غير القائل، فقد يقول الإنسان كلمة الكفر ولا يكفر.
أرأيتم الرجل الذي أضل راحلته حتى أيس منها، واضطجع تحت شجرة ينتظر الموت،فإذا بالناقة على رأسه، فأخذ بها وقال من شدة الفرح:اللهم أنت عبدي وأنا ربك،وهذه الكلمة كلمة كفر لكن هو لم يكفر،قال النبي صلى الله عليه وسلم : "أَخطَأَ مِن شِدَّةِ الفَرَح" . أرأيتم الرجل يكره على الكفر قولاً أو فعلاً فهل يكفر؟
الجواب:لا، القول كفر والفعل كفر لكن هذا القائل أو الفاعل ليس بكافر لأنه مكره.
أرأيتم الرجل الذي كان مسرفاً على نفسه فقال لأهله: إذا مت فأحرقوني وذرُّوني في اليمِّ - أي البحر - فوالله لئن قدر الله علي ليعذبني عذاباً ما عذبه أحداً من العالمين، ظن أنه بذلك ينجو من عذاب الله، وهذا شك في قدرة الله عزّ وجل، والشك في قدرة الله كفر، ولكن هذا الرجل لم يكفر.
جمعه الله عزّ وجل وسأله لماذا صنعت هذا؟ قال: مخافتك. وفي رواية أخرى: من خشيتك، فغفر الله له.
أما الحافظ الثاني:فهو ابن حجر- رحمه الله - وابن حجر حسب ما بلغ علمي متذبذب في الواقع، أحياناً يسلك مسلك السلف، وأحياناً يمشي على طريقة التأويل التي هي في نظرنا تحريف.
مثل هذين الرجلين هل يمكن أن نقدح فيهما؟
أبداً، لكننا لا نقبل خطأهما، خطؤهما شيء واجتهادهما شيء آخر.
أقول هذا لأنه نبتت نابتة قبل سنتين أو ثلاث تهاجم هذين الرجلين هجوماً عنيفاً، وتقول: يجب إحراق فتح الباري وإحراق شرح صحيح مسلم، -أعوذ بالله- كيف يجرؤ إنسان على هذا الكلام، لكنه الغرور والإعجاب بالنفس واحتقار الآخرين.

والبدعة المكفرة أو المفسقة لا نحكم على صاحبها أنه كافر أو فاسق حتى تقوم عليه الحجة، لقول الله تعالى: (وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ) (القصص:59)
وقال عزّ وجل: ( وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً)(الاسراء: الآية15) ولو كان الإنسان يكفر ولو لم تقم عليه الحجة لكان يعذب، وقال عزّ وجل: (رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ )(النساء: الآية165) والآيات في هذه كثيرة.
فعلينا أن نتئد وأن لا نتسرع، وأن لا نقول لشخص أتى ببدعة واحدة من آلاف السنن إنه رجل مبتدع.
وهل يصح أن ننسب هذين الرجلين وأمثالهما إلى الأشاعرة، ونقول: هما من الأشاعرة؟
الجواب:لا، لأن الأشاعرة لهم مذهب مستقل له كيان في الأسماء والصفات والإيمان وأحوال الآخرة.
وما أحسن ما كتبه أخونا سفر الحوالي عما علم من مذهبهم، لأن أكثر الناس لا يفهم عنهم إلا أنهم مخالفون للسلف في باب الأسماء والصفات، ولكن لهم خلافات كثيرة.
فإذا قال قائل بمسألة من مسائل الصفات بما يوافق مذهبهم فلا نقول: إنه أشعري
أرأيتم لو أن إنساناً من الحنابلة اختار قولاً للشافعية فهل نقول إنه شافعي؟
الجواب:لا نقول إنه شافعي.
فانتبهوا لهذه المسائل الدقيقة، ولا تتسرعوا، ولا تتهاونوا باغتياب العلماء السابقين واللاحقين، لأن غيبة العالم ليست قدحاً في شخصه فقط، بل في شخصه وما يحمله من الشريعة، لأنه إذا ساء ظن الناس فيه فإنهم لن يقبلوا ما يقول من شريعة الله، وتكون المصيبة على الشريعة أكثر.
ثم إنكم ستجدون قوماً يسلكون هذا المسلك المشين فعليكم بنصحهم، وإذا وجد فيكم من لسانه منطلق في القول في العلماء فانصحوه وحذروه وقولوا له: اتق الله، أنت لم تُتَعَبَّد بهذا، وما الفائدة من أن تقول فلان فيه فلان فيه، بل قل: هذا القول فيه كذا وكذا بقطع النظر عن الأشخاص.
لكن قد يكون من الأفضل أن نذكر الشخص بما فيه لئلا يغتر الناس به، لكن لا على سبيل العموم هكذا في المجالس، لأنه ليس كل إنسان إذا ذكرت القول يفهم القائل، فذكر القائل جائز عند الضرورة، وإلا فالمهم إبطال القول الباطل، والله الموفق.
)شرح الأربعين النووية :1ظ 267-270 حديث 28)
“…Maka kita beriman bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kemudian, kesesatan-kesesatan ini terbagi menjadi: bid’ah yang menyebabkan kafir (pelakunya), bid’ah yang menyebabkan fasiq (pelakunya), dan bid’ah yang pelakunya dimaafkan. Akan tetapi, meskipun pelakunya dimaafkan, hal itu tidak mengeluarkan perbuatannya dari kesesatan. Seseorang dimaafkan jika bid’ah ini muncul karena takwil dan niat yang baik.
Saya akan berikan suatu contoh, dengan dua Hafidz yang banyak dijadikan rujukan, yang terpercaya, di antara kaum muslimin, yaitu: AnNawawi dan Ibnu Hajar, semoga Allah Ta’ala merahmati keduanya. Imam anNawawi, kita tidak meragukan bahwa beliau adalah seorang yang nasih (ikhlas mengharapkan kebaikan), bahwa beliau telah melakukan kebaikan dalam Islam. Hal yang menunjukkan hal itu adalah diterimanya karya-karya tulis beliau (di tengah umat), sampai-sampai anda tidak akan mendapati masjid kaum muslimin kecuali dibacakan padanya kitab Riyaadus Sholihin. Ini menunjukkan penerimaan (terhadap karya beliau). Tidak diragukan lagi, beliau adalah ikhlas mengharapkan kebaikan, akan tetapi beliau -semoga Allah merahmatinya-, salah dalam hal menakwilkan ayat-ayat Sifat, yaitu beliau menempuh metode para pentakwil. Apakah kemudian kita katakan bahwa beliau seorang Ahlul bid’ah?
Kita katakan: ucapannya adalah bid’ah, namun beliau bukanlah Ahlul bid’ah. Karena beliau secara hakikat adalah seorang pentakwil. Seorang pentakwil jika salah dalam ijtihadnya, maka ia mendapat 1 pahala. Bagaimana bisa kita sifatkan beliau sebagai Ahlul bid’ah dan menjauhkan umat dari beliau? (Sikap terhadap) ucapan tidak sama dengan (sikap terhadap) orang yang mengucapkan. Kadangkala seseorang mengucapkan kalimat kekufuran, namun ia tidak bisa dikafirkan (dianggap kafir).
Bagaimana pendapat kalian terhadap seorang laki-laki yang kehilangan hewan tunggangannya sampai putus asa darinya, kemudian ia duduk di bawah pohon menunggu mati, ternyata tiba-tiba hewan itu berada di (dekat) kepalanya. Kemudian ia mengambil (tali kekang)nya dan berseru karena terlampau gembira: ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Tuhanmu! ‘. Kalimat ini (yang diucapkannya) adalah kalimat kekufuran, akan tetapi ia tidak bisa dikafirkan, karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dia keliru karena sangat gembira” (H.R Muslim). Bagaimana pendapatmu dengan seseorang yang dipaksa untuk mengucapkan atau melakukan kekufuran, apakah ia dikafirkan (dianggap kafir)?
Jawabannya adalah : Tidak! Ucapannya adalah kekufuran, perbuatannya adalah kekufuran akan tetapi orang yang mengucapkan atau orang yang melakukannya tidaklah kafir, karena ia dipaksa.
Bagaimana pendapatmu dengan seorang laki-laki yang melampaui batas terhadap dirinya, kemudian dia berkata kepada keluarganya: “Jika aku meninggal bakarlah jasadku, dan tebarkan abunya di lautan”. Demi Allah, jika Allah mampu (berbuat terhadap)ku, niscaya Ia akan menyiksaku dengan siksa yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun”(HR alBukhari). Ia menyangka bahwa dengan itu ia akan selamat dari adzab Allah. Itu adalah keraguan terhadap Kemahakuasaan Allah Azza Wa Jalla. Sedangkan keraguan terhadap Kemahakuasaan Allah adalah kekufuran. Akan tetapi orang tersebut tidak dikafirkan. Allah mengumpulkan (serpihan tubuhnya) dan bertanya kepadanya:’ Mengapa engkau melakukan hal ini?’. Orang tersebut mengatakan: karena takut (khouf) kepadaMu. Dalam riwayat lain: karena takut (khosy-yah) kepadaMu. Kemudian Allah mengampuninya.
Sedangkan al-Hafidz yang kedua: Ibnu Hajar, semoga Allah merahmati beliau. Berdasarkan pengetahuan saya, Ibnu Hajar dalam kebimbangan. Kadang beliau menempuh metode Salaf, kadang beliau mengikuti metode takwil, yang sebenarnya jika kita lihat adalah tahrif (penyimpangan makna). Untuk semisal 2 orang ini (AnNawawi dan Ibnu Hajar) apakah mungkin bagi kita untuk mencelanya?
Tidak mungkin. Akan tetapi kita tidak menerima kesalahan mereka berdua. Kesalahan mereka berdua adalah suatu hal, sedangkan ijtihad mereka berdua adalah hal lain.
Saya katakan ini, karena sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu dua (Ulama’) ini diserang dengan serangan yang kasar. Ada orang yang mengatakan: Wajib membakar Fathul Baari dan Syarh Shohih Muslim. ‘Audzu billah!! (Aku berlindung kepada Allah). Bagaimana mungkin seseorang bisa seberani itu mengucapkan kalimat. Akan tetapi itu adalah tipuan, merasa bangga terhadap diri sendiri dan meremehkan orang lain.
Sedangkan bid’ah mukaffirah (yang mengkafirkan), dan bid’ah mufassiqah (yang menjadikan fasiq), kita tidak menghukumi pelakunya sebagai orang kafir atau fasiq sampai kita telah menegakkan hujjah terhadapnya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

(وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولاً يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ) (القصص:59)

Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman (Q.S alQoshshosh:59)
Dan Firman Allah Azza Wa Jalla:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“Dan tidaklah Kami mengadzab, hingga mengutus Rasul” (Q.S al-Israa’:15)
Kalau seandainya seorang bisa dikafirkan meskipun belum tegak hujjah atasnya, niscaya ia diadzab. Dan Allah Azza Wa Jalla berfirman:

رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ

“ Para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, supaya manusia tidak memiliki hujjah terhadap Allah setelah diutusnya para Rasul” (Q.S anNisaa’:165). Dan ayat-ayat tentang hal ini (masih) banyak.
Maka hendaknya kita bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa, dan hendaknya kita tidak mengatakan kepada seseorang yang melakukan satu bid’ah dibandingkan ribuan Sunnah (yang ia kerjakan) sebagai seorang ahlul bid’ah. Apakah boleh kita menyebut dua orang Ulama’ ini dan yang semisalnya sebagai al-‘Asyaairoh? Sehingga kita katakan dia sebagai al-‘Asyaa-iroh?
Jawabannya adalah: Tidak. Karena al-‘Asyairoh adalah madzhab tersendiri. Ia memiliki spesifikasi dalam (keyakinan) tentang Asma’ WasSifaat, Iman, dan kehidupan di akhirat. Sungguh baik apa yang ditulis oleh saudara kami Safar al-Hawaly tentang hal yang diketahuinya seputar madzhab mereka (al-‘Asyaa-iroh). Karena kebanyakan manusia tidaklah memahami keadaan mereka (al-‘Asyaa-iroh) kecuali (sekedar) penyimpangan mereka terhadap Salaf dalam Asma’ WasSifat. Tetapi (sebenarnya) mereka memiliki penyimpangan yang banyak.
Jika ada seseorang yang berkata dengan (hanya) satu masalah dalam Asma’ WasSifat yang sesuai dengan madzhab mereka (al-‘Asyaairoh), kita tidak mengatakan bahwa orang itu adalah Asy-‘ariy. Bagaimana pendapatmu jika ada seseorang bermadzhab Hanbali yang memilih satu ucapan asy-Syaafi’iyah, apakah kita katakan dia sebagai Syafi’i? Jawabannya adalah: Tidak.
Maka perhatikan masalah-masalah yang butuh kecermatan ini. Janganlah kalian tergesa-gesa. Janganlah bermudah-mudahan dalam ghibah terhadap para Ulama yang terdahulu maupun yang ada setelahnya. Karena sesungguhnya ghibah terhadap seorang ‘alim bukanlah celaan terhadap pribadinya semata, namun celaan terhadap pribadi sekaligus syariat yang diembannya. Karena jika manusia berburuk sangka terhadapnya, mereka tidak akan menerima ucapannya (termasuk) dalam hal yang terkait syariat Allah. Sehingga jadilah musibah yang lebih besar terhadap syariat.
Kemudian kalian nanti akan mendapati sekelompok orang yang menempuh jalan yang buruk ini (ghibah terhadap Ulama’). Hendaknya kalian menasehati mereka. Jika kalian mendapati seseorang yang mengucapkan ucapan (buruk) terhadap Ulama’, nasehatilah ia, peringatkanlah kepada dia, dan ucapkan: Bertakwalah kepada Allah, engkau tidaklah beribadah (kepada Allah) dengan cara seperti ini. Apa manfaatnya kalian katakan bahwa Fulan demikian dan demikian. Tapi hendaknya katakan: ucapan ini (memiliki kesalahan demikian dan demikian) tanpa menyebutkan orang yang mengucapkannya.
Akan tetapi, kadangkala lebih utama menyebutkan keadaan pribadi seseorang agar manusia tidak tertipu dengannya. Tetapi tidak secara umum dalam berbagai majelis. Karena tidak semua orang, jika engkau sebutkan sebuah ucapan, menjadi paham siapa yang mengucapkannya. Maka menyebutkan siapa orang yang mengucapkan adalah diperbolehkan dalam kondisi darurat. Akan tetapi yang terpenting adalah menjelaskan kebatilan suatu ucapan yang batil. Allahlah Pemberi Taufiq. (Syarh al-Arba’in anNawawiyah juz 1 halaman 267-270, penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin terhadap hadits yang ke-28).

Untuk semakin memperjelas dan memberikan manfaat yang lebih banyak, kita bisa menyimak penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin dalam Kitabul ‘Ilmi juz 1 halaman 148-150 saat beliau menjawab pertanyaan:

سئل الشيخ غفر الله له: ما قولكم فيما يحصل من البعض من قدح في الحافظين النووي وابن حجر وأنهما من أهل البدع؟ وهل الخطأ من العلماء في العقيدة ولو كان عن اجتهاد وتأويل يلحق صاحبه بالطوائف المبتدعة؟ وهل هناك فرق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية؟
فأجاب فضيلته بقوله:

إن الشيخين الحافظين "النووي ابن حجر" لهما قدم صدق ونفع كبير في الأمة الإسلامية ولئن وقع منهما خطأ في تأويل بعض نصوص الصفات إنه لمغمور بما لهما من الفضائل والمنافع الجمة ولا نظن أن ما وقع منهما إلا صادر عن اجتهاد وتأويل سائغ ـ ولو في رأيهما ، وأرجو الله تعالى أن يكون من الخطأ المغفور وأن يكون ما قدماه من الخير والنفع من السعي المشكور وأن يصدق عليهما قول الله تعالى: {إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]. والذي نرى أنهما من أهل السنة والجماعة، ويشهد لذلك خدمتهما لسنة رسوله الله صلى الله عليه وسلم وحرصهما على تنقيتها مما ينسب إليها من الشوائب، وعلى تحقيق ما دلت عليه من أحكام ولكنهما خالفا في آيات الصفات وأحاديثها أو بعض ذلك عن جادة أهل السنة عن اجتهاد أخطئا فيه، فنرجو الله تعالى أن يعاملهما بعفوه.

وأما الخطأ في العقيدة: فإن كان خطأ مخالفًا لطريق السلف، فهو ضلال بلا شك ولكن لا يحكم على صاحبه بالضلال حتى تقوم عليه الحجة، فإذا قامت عليه الحجة، وأصر على خطئه وضلاله، كان مبتدعًا فيما خالف فيه الحق، وإن كان سلفيًّا فيما سواه، فلا يوصف بأنه مبتدع على وجه الإطلاق، ولا بأنه سلفي على وجه الإطلاق،
بل يوصف بأنه سلفي فيما وافق السلف، مبتدع فيما خالفهم، كا قال أهل السنة في الفاسق: إنه مؤمن بما معه من الإيمان، فاسق بما معه من العصيان، فلا يعطي الوصف المطلق ولا ينفى عنه مطلق الوصف، وهذا هو العدل الذي أمر الله به، إلا أن يصل المبتدع إلى حد يخرجه من الملة فإنه لا كرامة له في هذه الحال.
وأما الفرق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية: فلا أعلم أصلا للتفريق بين الخطأ في الأمور العلمية والعملية لكن لما كان السلف مجمعين -فيما نعلم- على الإيمان في الأمور العلمية الحيوية والخلاف فيها إنما هو في فروع من أصولها لا في أصولها كان المخالف فيها أقل عددًا وأعظم لومًا
. وقد اختلف السلف في شيء من فروع أصولها كاختلافهم، هل رأى النبي صلى الله عليه وسلم ربه في اليقظة واختلافهم في اسم الملكين اللذين يسألان الميت في قبره، واختلافهم في الذي يوضع في الميزان أهو الأعمال أم صحائف الأعمال أم العامل؟ واختلافهم هل يكون عذاب القبر على البدن وحده دون الروح؟
واختلافهم هل يسأل الأطفال وغير المكلفين في قبورهم؟ واختلافهم هل الأمم السابقة يسألون في قبورهم كما تسأل هذه الأمة؟ واختلافهم في صفة الصراط المنصوب على جهنم؟ واختلافهم هل النار تفنى أو مؤبدة، وأشياء أخرى وإن كان الحق مع الجمهور في هذه المسائل، والخلاف فيها ضعيف.
وكذلك يكون في الأمور العملية خلاف يكون قويًّا تارة وضعيفًا تارة.
وبهذا تعرف أهمية الدعاء المأثور: "اللهم فاطر السماوات والأرض، عالم الغيب والشهادة، أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون، اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم"


Syaikh –semoga Allah mengampuninya- ditanya: “Bagaimana pendapat anda tentang sebagian orang yang mencela dua al-Hafidz: anNawawi dan Ibnu Hajar, dan (mengatakan) bahwa mereka berdua termasuk Ahlul Bid’ah? Dan apakah ada perbedaan antara kesalahan dalam hal ilmu dan amalan?
Fadhilatus Syaikh (Muhammad bin Sholih al-Utsaimin menjawab) :
Sesungguhnya 2 al-Hafidz: anNawawi dan Ibnu Hajar kedua-duanya telah memberikan kebaikan dan manfaat yang besar bagi kaum muslimin. Akan tetapi keduanya terjatuh dalam kesalahan dalam menakwilkan sebagian nash-nash tentang Sifat (Allah). (Namun kesalahan) itu terendam oleh keutamaan-keutamaan dan manfaat-manfaat yang berlimpah dari mereka berdua. Kita tidak menyangka bahwa apa yang menimpa mereka berdua kecuali berasal dari ijtihad dan takwil, dalam pikiran mereka. Dan saya berharap kepada Allah Ta’ala bahwa kesalahan itu termasuk yang diampuni, dan saya berharap bahwa apa yang telah mereka perbuat berupa kebaikan, manfaat, upaya yang (patut) disyukuri menjadikannya seperti yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala:
{إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114]
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapuskan keburukan-keburukan” (Q.S Huud:114)
Kami melihat bahwa mereka berdua termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal itu ditunjukkan oleh khidmat mereka terhadap Sunnah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, semangat mereka untuk membersihkannya dari segala hal yang mengotorinya, dan melakukan tahqiq terhadap apa yang ditunjukkan oleh hukum-hukum. Akan tetapi mereka menyelisihi (Ahlussunnah) dalam hal ayat-ayat Sifat dan hadits-haditsnya, atau sebagian itu dari para pemuka Ahlussunnah yang berasal dari ijtihad yang salah. Maka kita mengharapkan kepada Allah Ta’ala untuk memaafkan beliau berdua.
Adapun kesalahan dalam hal aqidah, jika kesalahan itu menyelisihi jalan Salaf, maka itu adalah sesat, tanpa diragukan lagi. Akan tetapi pelakunya tidak dihukumi sesat sampai ditegakkan padanya hujjah. Jika telah tegak hujjah padanya, namun ia tetap pada kesalahan dan kesesatan tersebut, maka ia adalah Ahlul bid’ah dalam hal yang alhaq dia selisihi tersebut, walaupun ia adalah Salafy pada hal-hal lain. Tetapi ia tidaklah disifati sebagai ahlul bid’ah secara mutlak, tidak pula Salafy secara mutlak.
Akan tetapi dia disifati sebagai Salafy dalam hal yang sesuai dengan as-Salaf, ahlul bid’ah dalam hal yang diselisihinya. Sebagaimana Ahlussunnah berkata tentang orang fasiq: sesungguhnya ia adalah mukmin dengan keimanan yang ada padanya, dan fasiq dengan perbuatan kemaksiatannya. Ia tidak disifatkan dengan sifat yang mutlak, tidak pula dinafikan darinya sifat yang mutlak. Ini adalah keadilan yang Allah perintahkan dengannya. Kecuali jika ahlul bid’ah sampai pada batas yang mengeluarkannya dari Millah (agama), maka tidak ada kehormatan lagi baginya dalam hal tersebut.
Adapun perbedaan antara kesalahan dalam masalah ilmu dan amal, saya tidak mengetahui dasar pembedaan. Akan tetapi, ketika para Ulama’ Salaf bersepakat-sesuai dengan yang kita ketahui- terhadap iman dalam perkara ilmu, perbedaan pendapat dalam masalah itu terjadi pada cabang dari dasarnya, bukan pada dasar tersebut. Orang-orang yang menyelisihi dalam masalah itu lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar celaannya.
Para Ulama’ Salaf telah berbeda pendapat dalam cabang-cabang dari dasar tersebut, sebagaimana perbedaan pendapat mereka: Apakah Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam melihat Tuhannya dalam keadaan terjaga? Perbedaan pendapat mereka dalam nama 2 Malaikat yang menanyai mayat di dalam kuburnya, perbedaan dalam apakah yang diletakkan di timbangan amal, apakah amalan-amalan, atau lembaran-lembaran (catatan amalan) atau pelaku amalannya? Dan perbedaan mereka apakah adzab kubur terkena pada badan saja tanpa ruh?
Perbedaan mereka apakah anak-anak kecil dan orang-orang yang mukallaf juga ditanya di dalam kubur? Perbedaan mereka dalam hal apakah umat-umat sebelum kita juga mendapatkan pertanyaan di kubur sebagaimana umat ini? Perbedaan mereka dalam sifat as-Shirat yang dibentangkan pada jahannam? Perbedaan mereka apakah anNaar akan binasa/lenyap atau kekal. Dan yang semisal itu, walaupun kebenaran adalah sesuai pendapat Jumhur dalam masalah-masalah tersebut, dan perbedaan tentang itu lemah.
Demikian juga dalam masalah amaliyah, perbedaan kadang-kadang kuat kadang-kadang lemah. Karena itu kita bisa mengetahui pentingnya doa:
اللَّهُمَّ }رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ{ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Yaa Allah (Tuhan Jibril, Mikail, Israfil) Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Engkau Pemberi keputusan di antara hamba-hambaMu dalam hal yang mereka perselisihkan. Berikanlah aku petunjuk dalam hal-hal yang diperselisihkan berupa al-haq dengan idzinMu. Sesungguhnya Engkau pemberi hidayah kepada orang-orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus (H.R Muslim)(Kitabul ‘Ilmi juz 1 halaman 148-150).

Tambahan Keterangan

Dalam nukilan pada Syarh alArbain anNawawiyah di atas, Syaikh al-Utsaimin menyebutkan tentang Safar al-Hawaly dalam konteks pujian. Hal ini, wallaahu a’lam sebelum Safar al-Hawaly terkena fitnah pemikiran Khawarij. Terdapat rekaman tanya jawab dengan Syaikh al-Utsaimin yang menunjukkan bahwa beliau tidak menasehatkan para pemuda untuk mendengarkan ceramah-ceramah Salman al-‘Audah dan Safar al-Hawaly yang penuh dengan agitasi dan provokasi menentang para penguasa muslim.

Sebagian ikhwah penuntut ilmu di Aljazair bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin tentang sekelompok orang yang mengkafirkan penguasa tanpa kaidah-kaidah (syar’i) dan syarat-syarat tertentu?!
Syaikh –rahimahullah- menjawab:
“Mereka yang mengkafirkan (penguasa muslim) adalah pewaris Khawarij yang telah keluar dari (ketaatan terhadap) ‘Ali bin Abi Tholib –semoga Allah meridlainya-. Sedangkan orang yang kafir adalah orang yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Dalam hal pengkafiran ada beberapa syarat, di antaranya : ilmu (mengetahui) dan kehendak. Yaitu kita mengetahui bahwa penguasa tersebut telah menyelisih al-haq dalam keadaan mengetahuinya, dan menghendaki (menginginkan) penentangan, dalam keadaan dia tidak mentakwil. Contohnya: ia sujud kepada berhala dalam keadaan dia tahu bahwa sujud kepada berhala adalah syirik, kemudian dia sujud tidak dalam kondisi menakwilkan. Intinya, dalam hal ini ada syarat-syarat. Tidak boleh tergesa-gesa dalam mengkafirkan. Sebagaimana tidak boleh tergesa-gesa dalam mengucapkan bahwa ini adalah halal dan ini adalah haram.
Pertanyaan: Selain itu, mereka mendengarkan kaset-kaset (ceramah) Salman bin Fahd al-‘Audah dan Safar al-Hawaly! Apakah kami (semestinya) menasehati mereka untuk tidak mendengarkan itu?
Syaikh menjawab: “Semoga Allah memberkahi anda, kebaikan yang ada pada kaset-kaset ceramah mereka terdapat pada kaset ceramah (ulama) lain. Sebagian kaset-kaset tersebut bisa diambil (faidahnya). Sebagian kaset tersebut, bukan seluruhnya. Aku tidak bisa memilah untuk kalian antara kaset yang satu dengan yang lain (mana yang bisa diambil, mana yang harus ditinggalkan).
Pertanyaan: Kalau begitu, apakah anda menasehati kami untuk meninggalkan kaset-kaset mereka?
Syaikh menjawab: “Tidak. Saya menasehati anda untuk mendengarkan kaset-kaset ceramah Syaikh Bin Baz, Syaikh al-Albany, kaset-kaset ceramah ulama’ yang sudah dikenal keadilannya dan tidak memiliki pemikiran pemberontakan!!!
Pertanyaan: Wahai Syaikh, apakah perbedaan ini – mereka mengkafirkan penguasa dan berkata bahwa itu adalah jihad di alJazair dan mereka mendengarkan ceramah Salman dan Safar al-Hawaly, termasuk perbedaan dalam cabang atau dasar?
Syaikh menjawab: Tidak. Itu adalah perbedaan dalam hal aqidah. Karena termasuk prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah adalah tidak mengkafirkan seseorang karena (semata-mata berbuat) dosa.
Pertanyaan: Wahai Syaikh, mereka tidaklah mengkafirkan pelaku dosa besar kecuali penguasa. Mereka berdalil dengan ayat:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir” (Q.S al-Maidah:44).
Mereka tidaklah mengkafirkan kecuali penguasa saja.
Syaikh menjawab: Tentang ayat ini terdapat atsar dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud adalah kekufuran yang tidak mengeluarkan dari agama. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasiqan, dan membunuhnya adalah kekufuran” (Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan berdasarkan pendapat sebagian ahlut tafsir yang lain, ayat tersebut turun terkait dengan Ahlul Kitab karena konteksnya menunjukkan hal itu:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Q.S al-An’aam:44) (Tanya jawab dengan Syaikh alUtsaimin tersebut dalam bentuk file audio berekstensi .rm, format Real Media, bisa didownload pada beberapa sumber, di antaranya: http://islamancient.com/blutooth/133.rm).

Kesimpulan:
1. Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin tidaklah pernah menyatakan bahwa Imam AnNawawi dan Ibnu Hajar sebagai ahlul bid’ah apalagi mengkafirkan mereka berdua.
2. Syaikh al-Utsaimin, sebagaimana Ulama’ Ahlussunnah yang lain bukanlah takfiri yang bermudah-mudahan mengkafirkan. Namun, mereka bersikap teliti, obyektif, dan adil dalam menilai berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan AsSunnah yang shahihah dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
3. Orang yang berbuat kebid’ahan tidak secara otomatis divonis sebagai ahlul bid’ah, sebagaimana orang yang berbuat suatu kekufuran tidak bisa langsung dikatakan sebagai orang kafir. Perlu dilihat faktor-faktor lain, sebagaimana penjelasan Syaikh al-Utsaimin di atas. Tidak boleh seseorang tergesa-gesa dalam memvonis orang lain sebagai ahlul bid’ah atau kafir.

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua…
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk Situs Darussalaf.or.id

Related product you might see:

Share this product :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. MoslemStore - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger